Kebutuhan Mendesak akan Persiapan Keilmuan

Oleh: Prof. Dr. Abd al-Fattah Muhammad El-Awaisi Al-Maqdisi

Baitul Maqdis bukan saja sekadar "Tanah Harapan", namun lebih dari itu ia adalah sumber harapan, kebahagiaan dan keamanan, tempat inspirasi bagi kaum Muslimin sejak dahulu yang tertindas di Makkah, sumber perubahan, serta titik pangkal untuk mencapai perubahan seluruh dunia. Karena, perubahan adalah bentuk praktis dari sebuah harapan. Sedangkan harapan dan perubahan adalah manifestasi dari keberkahan. Oleh karena itu, harapan, perubahan, dan keberkahan akan selalu seiring sejalan. Ini berarti bahwa Baitul Maqdis merupakan pusat dari keberkahan, harapan, dan perubahan dunia.

Ikatan spiritual dan keilmuan antara umat Islam dan Baitul Maqdis dimulai sejak pengutusan Nabi yang mulia di kota Makkah. Akan tetapi, perubahan mendasar yang direpresentasikan oleh perjalanan Isra' dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsa di Baitul Maqdis merupakan penguat ikatan keilmuan dan spiritual bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, Baitul Maqdis pun menjelma menjadi tempat dan sumber harapan, serta keamanan yang abadi bagi umat Islam; merupakan sebuah citra yang hidup dalam akal dan persepsi mereka. Sebagaimana diketahui, ia jugalah yang memobilisasi jiwa dan perasaan mereka agar selalu terpaut padanya, serta mengikat hati dan akal mereka sehingga selalu rindu padanya. Sejak itu, Baitul Maqdis merupakan representasi dari harapan dan keamanan dalam bentuk umat Islam, serta aspirasi mereka untuk melakukan perubahan.

Tidak diragukan lagi bahwa kesungguhan dalam ilmu pengetahuan memainkan peranan sangat penting dalam pembebasan yang pertama dan kedua atas Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa. Amirul Mukminin 'Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu tidak membebaskan Baitul Maqdis tanpa persiapan. Ia membebaskannya dengan ilmu pengetahuan yang tersusun sistematis yang mengandung rancangan strategi yang disusun sendiri oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alayhi wa sallam selama hidupnya dan didasarkan pada tiga pilar, yaitu persiapan keilmuan (ilmu pengetahuan), persiapan politik, dan persiapan militer yang telah dilanjutkan juga oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq di masa kekhalifahan pertama.

Adapun pembebasan pertama Baitul Maqdis terjadi lima tahun setelah wafatnya RasulullahShallallahu 'alayhi wa sallam(Rabi'ul Awwal 11 H/6 Juni 632 M) dan ini merupakan satu peningkatan yang wajar, di mana langkah kerja nyata pertama yang diambil oleh NabiShallallahu 'alayhi wa sallamsangat membantu hal ini terutama persiapan pengetahuan yang meliputi langkah strategis dalam membebaskan Baitul Maqdis, yang menghadirkan suasana kondusif dengan mempersiapkan (antisipasi) secara langsung peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang. Pada kenyataannya, langkah-langkah awal dalam perjalanan membebaskan Baitul Maqdis adalah dengan mengirim pasukan besar ke Syam pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, dan kemudian mahkota kemuliaan pembebasan Baitul Maqdis terwujud di bawah kepemimpinan khalifah kedua 'Umar bin Khattabradhiyallahu 'anhupada bulan Jumadil Ula-Jumadil Tsani tahun 16H/Juni-Juli 637 M.

Peristiwa ini juga terjadi pada masa berlangsungnya perang dengan bangsa Frank (yang dikenal dengan Perang Salib) di mana pada saat itu persiapan telah dimulai oleh para ulama dan 'Imaduddin, dilanjutkan oleh Nuruddin, dan kemudian mahkota kemuliaan pembebasan Baitul Maqdis diwujudkan pada masa Shalahuddin. Pada hari pembebasan itu Shalahuddin mengatakan kepada bala tentaranya: "Jangan kalian mengira bahwa saya membebaskannya melalui pena hakim Al-Fadhil".

Di sisi lain, terlepas dari kecintaan Arab dan kaum Muslimin -secara umum- terhadap Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsa, cinta mereka tidak lain hanya cinta emosional yang tidak sistematis dalam memahami Baitul Maqdis, cinta yang tidak berdasarkan pada sistem pengetahuan sempurna. Tidak dapat dipungkiri bahwa kita -sesudah 100 tahun penjajahan atas Baitul Maqdis (1917-2017 M) - telah sampai pada tingkat sensitivitas dan kecenderungan emosional semata, perjuangan kita selama ini berasaskan emosi, sikap reaktif, provokasi, orasi-orasi pembangkit semangat, atau sekadar meratapi reruntuhan bangunan.

Akan tetapi, sangat disayangkan belum ada universitas (fakultas) di negara-negara Arab yang membuka program studi Baitul Maqdis dan memberikan gelar magister dan doktoral seperti yang telah dilakukan oleh Universitas Aberdeen di Britania Raya dan belakanga dari Universiti Utara Malaysia (UUM). Bahkan program studi ini belum dimasukkan ke dalam kurikulum di universitas di universitas-universitas Arab dan Islam untuk gelar S1, padahal (pembukaan program studi Baitul Maqdis) telah disarankan dan direkomendasikan di sejumlah muktamar, misalnya deklarasi Dundee yang dikeluarkan pada akhir simposium internasional pertama tentang studi Islam, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Universitas Islam pada tanggal 18 Maret 2004.

Deklarasi tersebut menyatakan bahwa (Perkumpulan Universitas Islam secara aktif mempromosikan pengembangan bidang keilmuan baru bagi 'Studi Baitul Maqdis' agar menjadi kurikulum wajib di semua universitas Islam". Deklarasi Sana'a untuk "Studi Baitul Maqdis" yang dikeluarkan pada sesi akhir simposium akademik internasional yang ke-11 untuk studi Baitul Maqdis yang mengangkat tema: "Dimensi Akademik dan Keilmuan untuk Baitul Maqdis: Pengenalan Akademik Bidang Studi Baru di Dunia Arab" pada tanggal 20 November 2007, juga menyampaikan poin-poin rekomendasi sebagai berikut: "Merekomendasikan kepada Departemen Pendidikan Tinggi dan Riset Ilmiah di negara Republik Yaman tentang pentingnya menjadikan mata pelajaran Baitul Maqdis sebagai kurikulum wajib bagi seluruh mahasiswa dan mahasiswi di seluruh universitas di Yaman baik negeri maupun swasta. Juga merekomendasikan kepada asosiasi asosiasi universita negara-negara Arab tentang pentingnya menjadikan mata pelajaran Baitul Maqdis sebagai kurikulum wajib bagi seluruh mahasiswa dan mahasiswi di seluruh universitas di negara-negara Arab".

Sumber: Buku Emas Baitul Maqdis.

Posting Komentar untuk "Kebutuhan Mendesak akan Persiapan Keilmuan"